Tanggal Ini, Sepuluh Tahun yang Lalu



13 Oktober 1999,

Tiba-tiba telepon berdering dengan keras, membangunkanku yang sedang tidur siang. Jam menunjukkan pukul 14.00, dengan bergegas kuangkat telepon itu.

”Halo,” ujar suara di ujung telepon.
”Ya, halo assalamualaikum, dengan siapa ini?” tanyaku
”Waalaikum salam, bisa bicara dengan Dzikri,” ujarnya.
Aku terkaget, pikiranku mencoba menebak-nebak suara siapakah ini gerangan.
”Saya Toni dari Radar Jember,” lanjut suara tadi memperkenalkan diri.
Aku pun bertambah kaget, wahai, ada urusan apakah dengan Radar Jember, apakah ada sesuatu yang tak beres atau jangan-jangan aku mau masuk koran pikirku setengah berkhayal?

”Ah iya Pak Toni, ada yang bisa saya bantu,” tanyaku penuh dengan rasa penasaran.
”Kamu bisa komputer?” tanya Pak Toni tanpa basa-basi, dan kelak aku tahu bahwa memang bukan sifat beliau untuk berbasa-basi.
”Bisa pak,” jawabku tak kalah tegas.
”Kamu bisa ke kantor Radar?” tanyanya seolah mengejar pertanyaanku.
Aku mengiyakan dan menanyakan kapan,
”Sore ini kalau bisa, ya kalau kamu gak bisa kesempatan ini saya lemparkan ke orang lain” lanjut Pak Toni.

Antara sadar dan tidak, bagai orang linglung, aku mencoba keras untuk benar-benar bangun dan berpikir tawaran yang datang bagaikan petir di siang bolong itu.
Terngiang pertemuan pertamaku dengan pak Toni di acara seminar tentang iklan yang diselenggarakan oleh Radar Jember, dimana Ayahku menjadi pembicaranya dan aku yang mengerjakan presentasinya. Waktu itu yang aku perhatikan hanyalah rambut keperakan beliau tanpa sempat saling berkenalan.

”Baik, pak,” entah mengapa kalimat itu meluncur dengan sendirinya dari bibirku.
Telepon ditutup setelah saling mengucapkan salam, dan aku pun mencoba mencari peraduanku yang telah kutinggalkan tadi.

Sambil berbaring aku mencoba berpikir, ah mimpi yang membingungkan.
Tungggu! Apakah ini benar-benar mimpi, aku melihat jam, ah, masih pukul 14.10, apa yang harus aku lakukan. Tubuhku tiba-tiba mempunyai kendali sendiri di luar otakku, Mandi!

Kupakai kembali baju dan sepatu yang tadi pagi kukenakan saat kuliah, kucoba merayu kakakku agar mau mengantarku ke kantor Radar Jember dengan satu-satunya motor yang tersedia, ah, berangkat kerja seperti mimpi saja...
Jadilah hari ini hari aku pertama kali berangkat bekerja, secara tak disengaja, dan benar-benar hari yang aneh....

Hari pertama,

”Kamu lihat NH bekerja ya,” perintah Pak Toni menyambutku.
NH adalah kependekan dari Ngastio Hidayat, orang yang sangat berjasa membimbingku mengenal dunia kerja. Dan aku pun duduk dengan setia di belakang beliau berjam-jam lamanya, melihat dan mencuri semua ilmu yang beliau tunjukkan.
.
Jam menunjukkan pukul 23.00, ibuku sudah merasa gelisah di rumah, ”Lha opo to, metu jam telu kok sampek jam ngene durung muleh, pancene kerjo opo? (Ngapain aja, keluar jam tiga kok sampai jam segini belum pulang, memangnya kerja apa sih?),” keluh ibuku, dan sejak saat itu ibuku pun terbiasa melihatku pergi pagi pulang larut malam.

Hari yang akan selalu kukenang, sebagai awal dari perjalanan selama 10 tahun yang akan aku tempuh di kemudian hari.
Dua hari kemudian.
”Dzikri!!!” teriak pak Toni.
Disuruhnya aku duduk dan dimarahilah aku habis-habisan gara-gara salah mengetik kata Launching menjadi Lunching pada iklan pertama yang ku buat.

Ah, hari-hari itu sungguh sangat berkesan....
 

Dengan TV Lagi...

Anakku bertanya pada ibunya kemarin sore, ''Ma, kapan vivi (tivi) ku dikembalikan dari rumah kung? aku kan mau nonton Ichigo..'' tanya Sasa. Sekejap istriku pun tertegun dan merenung..
Malam harinya ketika aku pulang, masalah itu pun kami diskusikan, dan hasilnya kami sepakat bahwa kami akan membuat suatu langkah besar yakni membeli Antena Televisi....!!!!
Berbekal duit pas-pasan (pas buat beli antena) kami berkunjung ke toko elektronik. 3 Toko kami singgahi, dan toko terakhirlah yang paling memikat hati (bah... ngapain berpantun pula).
115 ribu rupiah harga antenanya, lengkap pakai booster, kabel, bisa berputar 360 derajat dengan remote, tinggal dibawa pulang dan dirakit lalu dipasang.
Satu masalah, vivinya ada di rumah kung (bahasa jawanya kakek), bagaimana cara mengambil sesuatu yang memang kami pinjamkan tanpa menyinggung perasaan. Untung Uti (panggilan nenek) mau mengerti, tambah satu masalah lagi, bagaimana cara membawanya? becak atau dipangku?
Beruntung istriku mau mengalah, dia mau memangku vivi seberat 3 kg ditambah berat kandungannya kurang lebih 7 kg sampai rumah. 15 ribu pun terhematkan....
Usrak..usruk.. brak..brukk.. dan antena pun terpasang, SCTV, GlobalTV, RCTI dan teman-temannya hadir lagi di rumahku.
Selamat datang keramaian, selamat tinggal keheningan... Selamat datang informasi, semoga membawa berkah dan hikmah bagi keluarga ini....
 

Tanpa TV

Sudah hampir dua bulan aku hidup tanpa televisi, ketika ada gerakan matikan TV selama satu hari, aku terpaksa mendukungnya, bukan karena apa, di rumah ada sebuah tv mungil tapi tanpa antena sehingga tidak bisa menangkap siaran tv manapun.
Malas aku mengeluarkan duit buat beli antena, terlalu mahal, sama ongkosnya dengan memasang TV kabel (berlangganan), cuma petugas TV kabel enggan menyambung dengan berbagai dalih dan alasan (atau mungkin karena sudah tidak butuh uang!).
Hari menjadi berlalu dengan cepat...
Senin bertemu Senin lagi,.. Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu, dan Senin lagi..
Tapi entah kenapa, aku merasa menjadi lebih tenang... cuma komputerku yang jadi korban, karena dia lah satu-satunya hiburanku... selain istri dan anakku...
 

Ketika Dynand Tak Bangga pada Kotanya

”Where are you from?”
”Indonesia”
”Oh I see. JFC!”
“JFC?”
”Yes. Jember Fashion Carnaval. JFC is Jember, JFC is Indonesia. It’s great!”

Petikan percakapan di atas adalah email seorang teman yang penasaran bagaimana JFC atau Jember Fashion Carnaval bisa dikenal di luar negeri. Teman saya yang asli Sumatera dan sedang mendapat beasiswa di Benua Biru itu, awalnya justru tidak begitu tahu tentang JFC. Tapi di luar negeri sana, cerita teman saya yang lain yang tengah berada di Negeri Paman Sam, JFC kini telah menjadi salah satu ikon Indonesia. Indonesia tak lagi hanya diidentikkan dengan Bali.

Membicarakan tentang JFC dan keberhasilannya yang fenomenal, tentu tak terlepas dari nama dan kiprah seorang Dynand Fariz, pendiri sekaligus presiden JFC. Dynand dengan mimpi besar dan kerja kerasnya tidak hanya membuat kota kelahirannya lebih dikenal luas oleh masyarakat Indonesia bahkan dunia mulai melirik kota Jember yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam peta mode dunia. Dynand dengan JFC-nya telah mengajari sekaligus menginspirasi bahwa nasionalisme bukan sekedar kata-kata, juga bukan sekedar rasa bangga yang membuncah jiwa; nasionalisme adalah akumulasi dari rasa bangga, kreativitas, inovasi dan kerja keras yang konsisten dalam sebuah karya nyata, untuk Indonesia.
JFC yang diklaim sebagai catwalk terpanjang di dunia, yakni sepanjang 3,6 km, sebenarnya merupakan salah satu bentuk unjuk rasa; semacam demo di mana pesan disampaikan dengan eksklusif. Melalui karnaval busana, Dynand dengan JFC-nya ingin protes terhadap munculnya krisis lingkungan, krisis alam dan bencana yang tak pernah selesai. Mereka ingin menyampaikan pesan untuk menyatukan dan mendamaikan dunia. Krisis global, krisis pangan, krisis ekonomi, krisis budaya, dan krisis sosial seharusnya menyatukan manusia. JFC sebenarnya terinspirasi dengan model karnaval yang ada di Brazil.

Bedanya, JFC mengangkat budaya lokal Indonesia dan merespon isu-isu lingkungan yang ada. Karena itu meski mode identik dengan dunia konsumsi, Dynand justru mendorong penggunaan barang daur ulang pada setiap peserta karnaval. Bulu-bulu burung yang mereka kenakan sebagai hiasan kepala dan tubuh misalnya, berasal dari bulu ayam pembersih debu. Inilah perwujudan mimpi yang berjalan sesuai semangat zaman yang ingin membatasi konsumsi untuk menghentikan pemanasan suhu bumi dan perubahan iklim global.

Konsep JFC sebenarnya lebih kurang sama dengan penyelenggaraan karnaval yang diselenggarakan oleh daerah-daerah lain. Hanya saja, JFC dikemas dengan lebih elegan, dikomunikasikan dengan baik dan terpenting mendapat dukungan dari masyarakat dan pemerintah daerah setempat sebagai ajang promosi daerah. Keunikan event ini dijadikan sebagai sebuah point lebih untuk membuatnya memiliki value yang tinggi. Hal lain yang tak kalah menarik adalah komitmen Dynand untuk membebaskan JFC dari kooptasi industri besar yang ingin mensponsori tapi dengan maksud menjadikan JFC untuk ajang promosi. Dynand menolaknya agar JFC tetap total untuk Jember dan untuk Indonesia. Dynand cukup berhasil memperkenalkan Jember yang plural dan toleran kepada dunia seraya tetap mempertahankan identitasnya. Kian lama JFC tidak hanya semakin dikenal dan diterima, sederet prestasi juga berhasil diraih bahkan hingga ke level internasional. Di antaranya : JFC dilibatkan dalam kegiatan Jambore Pramuka Internasional di London pada 2007; peringatan HUT Kemerdekaan RI di Mumbai tahun 2007 dan terakhir Shanghai Tourism Festival tahun 2008. Untuk di dalam negeri, JCF pernah tampil di Kuta Carnival, Bali Fashion Beach, Solo Batik Carnival dan pentas di Kutai Kalimantan.
Keberhasilan JFC yang fenomenal tentu tidak mengalir begitu saja. Perjalanannya yang cukup panjang dan sempat menuai kontroversi, sangat inspiratif bagi kita semua khususnya generasi muda dalam memaknai dan membangun nasionalisme. Di masa sekarang, nasionalisme berarti kreativitas. Dan Dynand Fariz adalah salah satu anak bangsa yang sangat kreatif sekaligus inspiratif.

Sebagian besar kita mungkin tengah mengalami krisis nasionalisme, atau bahkan kita malu menjadi orang Indonesia. Negara dengan sejumlah predikat terburuk di dunia : sarang koruptor, pembajak bahkan mungkin teroris. Terbelit sejumlah masalah multidimensi seperti angka kemiskinan yang spektakuler, jumlah pengangguran yang fantastis dan terus meningkat, kualitas SDM yang rendah, ditambah lagi kualitas pendidikan dan kesehatan yang rendah serta ancaman terhadap keamanan dan integrasi. Kita juga negara paradoks : kaya tapi sebagian besar rakyatnya hidup dalam kemiskinan bahkan mati kelaparan seperti yang baru saja terjadi di Papua; kaya akan sumber daya alam tapi punya hutang luar negeri yang sangat besar jumlahnya hingga masuk kelompok Negara-negara Miskin Penghutang Berat (Highly Indebted Poor Countries, HIPS); banyak rakyat miskin dan kelaparan tapi para pejabatnya justru bergelimang kemewahan.

Hal yang sama juga dirasakan oleh seorang Dynand terhadap kota kelahirannya, Jember, beberapa tahun lalu. Dynand yang lahir di sebuah desa terpencil, Desa Garahan, Kecamatan Silo Kabupaten Jember, merasa tidak sedikit pun bangga akan kota kelahirannya. Saat itu, di mata Fariz, Jember merupakan kota kecil yang tidak menarik dan tidak memiliki keistimewaan yang menjadikannya dikenal orang. Kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan justru memperdalam rasa rendah dirinya. Apalagi saat mengikuti pendidikan di IKIP Surabaya (sekarang Universitas Negeri Surabaya/Unesa), perasaan tertekan karena berasal dari kota yang dianggap ndesa semakin mempengaruhi pikirannya. Apa yang bisa dibanggakannya dari kota kecil seperti Jember? Luasnya wilayah dan penduduknya tak seberapa, kegiatan ekonomi dan pesona wisatanya juga tak terlalu menonjol dari daerah lain. Apalagi letak geografisnya ada di penghujung Pulau Jawa. Tapi Dynand tak berpaling dan berpatah arang. Ia tinggalkan kariernya yang sudah cukup mapan di Ibukota dan begitu menyelesaikan studinya di ESMOD Pusat, Paris, Dynand segera kembali ke kampung halaman dengan mimpi besarnya menjadikan Jember sebagai kota mode. Inilah pelajaran pertama dari seorang Dynand tentang bagaimana memaknai sebuah nasionalisme : betapapun kita tak bangga bahkan mungkin muak dan malu menjadi orang Indonesia, jangan pernah tinggalkan Indonesia! Rasa malu dan muak itu harus kita ubah menjadi energi positif yang membuat Indonesia menjadi lebih baik. Jika bukan kita yang melakukannya, siapalagi?
Pelajaran kedua : Beranilah Bermimpi! JFC lahir dari mimpi besar Dynand untuk mem-branding Jember sebagai kota fashion carnaval kelas dunia. Meski kota kecil, menurutnya, jika punya kemauan dan kesempatan pasti bisa menjadi kota besar misalnya Paris dan Milan. Dynand berani bermimpi besar dan mengambil berbagai risko untuk membuat dunia menoleh ke Jember. Tidak ada yang percaya awalnya Dynand akan berhasil membuat Jember Fashion Carnaval karena untuk ukuran Indonesia, pusat mode adalah Jakarta. Di sanalah tempat arah mode Indonesia dilahirkan, tempat para pengikut mode dan tentu saja kota di mana para perancang Indonesia membangun karier mereka. Adapun Jember yang berada di daerah tapal kuda lebih sering masuk berita setelah reformasi 1998 karena konflik horizontal. Tapi Dynand tak berpatah arang. Dia mencoba mengubah citra dan klaim itu dengan acara fashion di tingkat lokal yakni melalui Jember Fashion Carnaval atau yang lebih dikenal dengan JFC. Berkat konsistensi, komitmen dan ide-ide kreatif, JFC mampu mendatangkan 250.000 orang pengunjung pada tahun 2008 lalu padahal penduduk asli Jember sendiri hanya 200.000 orang. Jember telah menjadi kota carnaval, kota trendsetter, acuan, jadi pusat penelitian, pusat perbandingan dan mulai diikuti kota lain. Sebuah keberhasilan yang cukup spektakuler.

Sama halnya dengan Indonesia dalam konteks negara. Indonesia memiliki banyak potensi meskipun juga terbelit dengan begitu banyak masalah multidimensi. Kita harus optimis dan berani bermimpi, bahwa kita mampu menjadi negara yang besar di kemudian hari. Menurut National Intelligence Council's (NIC's), organ Pemerintah Amerika Serikat yang pada tahun 2005 mengekspos kajian Rising Powers: The Changing Geopolitical Landscape 2020, memberikan gambaran masa depan yang cerah bagi Indonesia. Menurut telaahan tersebut, pada tahun 2020 Indonesia bersama China, India, Afrika Selatan dan Brasil adalah negara-negara yang pengaruhnya semakin meningkat. Argumennya, ekonomi Indonesia akan tumbuh 6-7 persen per tahun selama satu setengah dekade mendatang, dengan populasi sekitar 250 juta jiwa. Sayangnya, menurut Michael Porter, ekonom Amerika Serikat sekaligus pendiri Institute for Strategy and Competitiveness yang dinobatkan majalah Business Week sebagai pembicara bisnis paling berpengaruh di dunia pada tahun 2005, proses pembangunan di Indonesia mengalami stagnasi bahkan kondisi saat ini dapat dikatakan tidak lebih baik dari 10 tahun yang lalu sementara negara-negara lain bergerak lebih cepat. Pendapat Porter diperkuat oleh kajian Prof Jeffrey Sach, seorang ekonom Amerika Serikat yang melakukan perbandingan terhadap proses pembangunan di beberapa negara. Jika pada tahun 1984 misalnya, ekspor Indonesia sebesar 4 miliar dollar AS dan ekspor China 3 miliar dollar AS. Dua puluh tahun kemudian, pada tahun 2005, ekspor Indonesia meningkat menjadi 70 miliar dollar AS dan ekspor China mencapai 700 miliar dollar AS. Di bidang pembangunan jalan tol, Indonesia memulai 10 tahun lebih dulu dari Malaysia dan 12 tahun lebih dulu dari China. Sekarang total panjang jalan tol di Malaysia 6.000 km, di China 90.000 km, dan di Indonesia baru 630 km. Ketertinggalan dan kelambanan Indonesia ini juga terjadi pada bidang lain seperti dalam bidang pendidikan dan olahraga. Beberapa puluh tahun yang lalu, Malaysia mengimpor banyak tenaga pengajar dari kita. Saat ini, kemajuan pendidikan kita justru jauh tertinggal dari negeri Jiran tersebut. ‘Ramalan’ buruk mengenai masa depan Indonesia juga dikemukakan oleh Jared Diamond. Dalam bukunya Collapse di tahun 2005, Diamond meramalkan kehancuran Indonesia seperti Uni Soviet dan Yugoslavia yang mengalami disintegrasi. Menurut Porter, faktor yang membuat Indonesia lebih buruk adalah soal kemauan untuk berubah yang minim (Jawa Pos, 29 November 2006).

Kembali kepada filosofi Dynand, mitos dan berbagai ramalan buruk di atas harus kita patahkan. Kita mulai dengan mimpi bahwa Indonesia bisa menjadi negara besar yang diperhitungkan dan memegang peranan penting di kancah internasional. Mimpi ini selanjutnya kita wujudkan dalam sebuah visi dengan serangkaian langkah dan program konkrit. Menurut Djokosantoso (2003:128), visi mencerminkan kedalaman dan keluasan pemahaman yang memungkinkan untuk mendeteksi dan membentangkan pola-pola dan kecendrungan-kecendrungan di masa depan, yang membimbing pemimpin untuk membawa organisasinya memasuki masa depan. Visi membantu kita menatap masa depan yang tidak dapat dikontrol dengan sekian banyak perubahan yang sulit diprediksi dan persaingan yang sangat ketat tidak dengan tatapan apalagi mimpi kosong.

Dalam konteks negara dan mimpi masa depan, dunia telah mulai bersiap menyongsong tahun 2025 dengan berbagai strategi dan scenario planning yang dirancang sematang mungkin. Beberapa negara telah mempersiapkan diri menyongsong tahun 2025 dengan visi pembangunan yang konkrit. Contoh terdekat adalah Malaysia yang bahkan menargetkan lima tahun lebih cepat yakni tahun 2020. Dengan visi tersebut Malaysia menargetkan untuk menjadi negara industri dan maju pada tahun 2020. Adapun yang menjadi Bench Mark adalah negara-negara seperti Inggris, Canada, Belanda, Finlandia atau Jepang. Dalam bidang yang lebih spesifik, Iptek misalnya, Australia mengeluarkan kebijakan Revamping Australia sebagai tinjauan ulang terhadap berbagai kebijakan ipteknya. Kebijakan tersebut berisikan visi perkembangan iptek bangsa itu sampai tahun 2025. Hal yang sama juga dilakukan oleh China, India, Korea, dan Malaysia. Jika tahun 2025 mereka tidak bisa mempersiapkan bangsanya untuk mempunyai basis iptek yang kuat, negara atau bangsa yang bersangkutan akan ditelan oleh gegap gempita kemajuan negara lain. Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Untuk menjawab tantangan global menjelang tahun 2025, Indonesia sebagai sebuah negara yang pada hakikatnya ingin mencapai kesejahteraan dan kemajuan bagi segenap bangsa dan negara sebagaimana negara manapun di dunia, juga telah mencanangkan rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (PJPN) 2005-2025. PJPN ini memiliki visi mewujudkan Indonesia yang Maju, Mandiri dan Adil pada tahun 2025. Visi besar ini hanya akan terwujud jika setiap kita, warga negara Indonesia, turut ambil bagian di dalamnya.
Pelajaran ketiga : just be yourself. Kita tak harus menjadi orang lain untuk menjadi berguna bagi Indonesia. Saya dan siapapun tak harus menekuni bidang yang sama dengan Dynand. Dynand hanyalah sebuah filosofi yang menginspirasi kita tetap menjadi diri sendiri. Just be you : kenali diri, gali potensi dan maksimalkan. Dynand mengembangkan apa yang dia suka dan menjadi bakat minatnya yakni fashion. “Dynand-Dynand” baru harus tumbuh dan berkembang di semua lini kehidupan : politik, ekonomi, social, seni dan budaya, pendidikan, pertanian, peternakan, kesehatan, dan semuanya. Jika mimpi adalah pondasi, sosok “Dynand” di semua lini kehidupan adalah tiang penyangga yang akan membangun “mimpi besar” Indonesia di kemudian hari.

Pelajaran berharga keempat dari seorang Dynand adalah think globally, act locally. Dynand bermimpi mewujudkan Jember sebagai kota karnaval yang setara dengan kota karnaval kelas dunia dengan menjadikan Rio de Jenairo sebagai pembanding. Mimpi besarnya tersebut ia mulai dengan menyelenggarakan peragaan fashion di tingkat lokal yang diberi nama Jember Fashion Carnaval (JFC). Ketika pertama kali digelar pada tahun 2002 lalu, pesertanya hanya 30 orang yang terdiri dari teman-teman Dynand sendiri. Dengan dipimpin Dynand, rombongan berkeliling ke kampung-kampung di Jember. Banyak warga yang mengira itu demo sehingga banyak yang menutup pintu ketika rombongan Dynand lewat. Tak hanya itu, pro dan kontra juga bermunculan bahkan DPRD Jember turut turun tangan ketika kontroversi semakin menguat. JFC dianggap tidak sesuai dengan kultur Jember yang religius dan tidak memiliki kultur fashion. Tapi lama kelamaan ketika masyarakat mulai menikmati manfaat dari event tersebut, suara kontra mulai banyak beralih ke pro. Jika pada tahun 2002 lalu peserta JFC hanya 30 orang, pada JFC kedelapan yang diselenggarakan pada awal Agustus tahun ini pesertanya mencapai 550 orang.

Meski mewujudkan mimpinya dari tingkat lokal, Dynand bekerja sangat profesional. JFC ia bangun dengan standar carnival yakni sarat kreativitas, punya nilai komunikasi, punya nilai jual, punya nilai kontinyu, tren dan aktual. Acuannya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan karnaval kelas dunia. Spektakuler, unik, fantastik dan amazing. JFC juga dikembang dengan konsep 4 E (educationentertainmentexhibition, dan economic benefit). Riset merupakan salah satu kunci dalam JFC yang bahkan dipersiapkan selama satu tahun. Tim kreatif melakukan riset melalui media massa cetak, televisi juga website. Tidak hanya terkait tema namun juga koreografi dan dampaknya di media. Sama halnya dengan riset, tahap persiapan di lapangan juga digarap dengan sangat profesional dan juga dilakukan setahun sebelumnya. Dimulai dengan melakukan audisi bagi penduduk Jember dan luar Jember yang ingin berpartisipasi dalam JFC. Peserta yang terpilih akan di-training selama 6 bulan. Materinya mengenai tema, kostum, riset kostum, defile dan lain-lain, untuk nantinya mereka yang akan merancang kostumnya sendiri. Berbeda dengan Festival Samba misalnya yang pesertanya memakai kostum sejenis, di JFC tidak ada satupun peserta yang berkostum sama. Setiap model yang tampil menampilkan seribu pesan.

Dan pelajaran yang terakhir atau kelima adalah forward looking atau berpikir jauh ke depan. Dalam satu hingga tiga tahun ke depan, Dynand merencanakan akan mendirikan Indonesian Carnaval Institute. Satu-satunya institut karnaval di Indonesia. Pendirian institut ini berdasarkan pemikiran bahwa Indonesia memiliki aset karnaval yang tidak kalah dengan negara lain. Sekolah ini akan menampung semua potensi kreatif sehingga akan menghasilkan SDM yang kreatif pula. Kurikulumnya tengah dipersiapkan dan untuk pengajarnya adalah pelaku-pelaku karnaval sudah profesional. Setiap tahun hasil atau output institusi ini dapat dievaluasi media. JFC akan menjadi alat kontrolnya, apakah setiap tahun JFC bisa menunjukkan perkembangan yang bagus dan kualitas yang terus meningkat. Indonesian Carnaval Institute merupakan bagian dari program jangka panjang untuk menumbuhkan ekonomi dan potensi industri kreatif. Lembaga pendidikan semacam ini masih terbilang jarang di Indonesia. Lembaga yang fokus seperti ini sebenarnya sangat diperlukan untuk menampung SDM-SDM kreatif di bidangnya masing-masing agar bisa berkembang maksimal. Kita semua tau, pendidikan yang terencana dengan baik adalah investasi masa depan yang akan menentukan maju tidaknya sebuah bangsa dan negara. Indonesian Carnaval Institute adalah salah satu bukti forwardlooking-nya seorang Dynand. Dynand berpikir tentang kurikulum dunia. Menurutnya, Kalender Indonesia 2025 adalah peningkatan ekonomi kreatif. Dan bicara kreatif berarti memunculkan fenomena. Budaya yang awalnya tidak ada menjadi ada. Seperti JFC.

Akhir kata, Dynand hanyalah salah satu contoh anak bangsa yang memaknai dan membuktikan nasionalismenya dengan cara yang sangat kreatif. Di luar sana, di banyak bidang yang lain, pasti banyak ”Dynand-Dynand” yang lain. Semoga tulisan ini dapat menginspirasi kita semua dalam memaknai dan membangun nasionalisme pada Indonesia tercinta. Sekali lagi, nasionalisme bukan sekedar kata-kata, juga bukan sekedar rasa bangga yang membuncah jiwa; nasionalisme adalah akumulasi dari rasa bangga, kreativitas, inovasi dan kerja keras yang konsisten dalam sebuah karya nyata, untuk kejayaan Indonesia tercinta.

* Mahasiswa Universitas Terbuka Jember, Program Studi S1 Ilmu Komunikasi.